Laman

Rabu, 17 Maret 2010

“Pak Manthous”

Manthous lahir di Desa Playen, Gunung Kidul pada tahun 1950. Ketika berusia 16 tahun, Manthous memberanikan diri pergi ke Jakarta. Pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Namun, pada tahun 1969 dia bergabung dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpinan Budiman BJ. Kemudian, pada tahun tahun 1976, Manthous yang juga piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama dengan Bieb anak Benyamin S. Bieb Blues bertahan hingga tahun 1980. Kemudian, Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. Selain itu, sebelumnya ia pernah juga menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya.

Kelihatannya semua pengalaman inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Dalam khazanah dangdut, bahkan, dia juga menjadi panutan karena mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang kemudian ditiru oleh para pemain bas dangdut sekarang.

Pada tahun 1993, Manthous mendirikan Grup Musik Campursari Maju Lancar Gunung Kidul. Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada warna rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keyboard dan gitar bas. Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu, Manthous menyelesaikan sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada tahun-tahun pertengahan 1990-an.Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung. Namun, karya besarnya yang banyak dikenal oleh orang Indonesia adalah Getuk yang pertama kali dipopulerkan oleh Nurafni Octavia. Sampai sebelum akhirnya terkena serangan stroke, Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul menjadi kiblat bagi para pencinta lagu-lagu langgam Jawa dan campursari.

“Nyidam Sari (Manthous)”

Umpomo sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpomo sliramu margi wong manis
Aku kang bakal ngliwati
Sineksi lintange luku semono
Janji prasetyaning ati
Tansah kumantil ing netro rinoso
karasa rasaning ndrio

Midero sak jagat royo
Kalingono wukir lan samudro
Ora ilang manise aduh
Dadi ati selawase

Nalika niro ing dalu atiku
Lamlamen siropo bagus
Nganti mati ora bakal lali
Lha kae lintange mlaku

“Ojo Sembrono (Manthous)”

Ampyang gulane jawa
yo mas yo
pilih kacang opo klopo
dadi wong lanang
mbok ojo sembrono
ojo sembrono
glali jenange gulo
yo mas yo
wong lali ora rumongso
sarwa-sarwi ngguyokake tingkahe
suwe-suwe kok mangkelake

aduh mas aku sing kleru
ojo dadi atimu
durung-durung
kok wiwit nesu
neng kali nggowo pancingan
wong lali ora kelingan

aduh mas aku sing luput
ojo pijer prengat-prengut
wong ngganteng dadi semrawut
sosor bebek disosor meri
salahku dewek mohon disori
mbesuk-mbesuk gak lagi-lagi

bacute terusno dewe….

Jangan Lombok Kesukaanku

Bahan:
Cabe rawit digoreng sangan (jumlahny sesuai selera)
Bawang putih 5 siung diiris melintang
Bawang merah 6 siung diiris melintang
Tempe diiris kotak-kotak, jumlahny kira2 dua gelas (agak susah mengukurny)
Ebi (rese) 2 sdm,direndam air 10 menit
Santan encer 3 gelas
Santan kental 2 gelas
Daun salam 4 lembar
Lengkuas digeprek 1 jempol kaki
Minyak goreng 2 sdm
Gula jawa, garam

Cara membuat:
Panaskan minyak goreng, tumis bawang merah dan putih sampai layu.
Masukkan cabe sangan, tempe. Aduk.
Beri santan cair sedikit, daun salam, lengkuas, gula jawa, garam, ebi.
Jika suka, tambahkan rambak.
Tutup panci, biarkan bumbu meresap ke tempe.
Masukkan sisa santan encer, aduk-aduk.
Setelah mendidih masukkan santan kental. Terus diaduk agar santan tidak pecah.
Setelah mendidih jangan lupa dicicipi. Kalau sudah siip, segera hidangkan dengan nasi dan lalapan baya

Pesona Gunungkidul

Yang terbayang di benak banyak orang mengenai salah satu dari lima kabupaten di DIY ini adalah kekeringan dan kesulitan air. Gunungkidul, itulah nama Kabupaten itu. Memang di wilayah ini air merupakan barang yang teramat berharga dan tidak mudah didapatkan. Walaupun konon sekarang jauh lebih baik dari masa lalu tetapi tetap saja air menjadi sesuatu yang tidak dengan mudah diperoleh. Sebenarnya tidak semua wilayah mengalami kondisi seperti itu. Jika kita berjalan menyusuri kabupaten Gunungkidul pada musim kemarau terasa sekali panas matahari menyengat kulit tubuh, namun jika pada musim penghujan lumayan sejuk udara yang kita rasakan. Seolah kehidupan dimulai lagi setelah lelap dari tidur panjang. Sebagian wilayah di Kabupaten Gunungkidul banyak dikelilingi bukit berbatu, membuat pohon sulit untuk tumbuh dengan baik. Meski berbatu bukit ini menawarkan keindahan tersendiri. Untuk tumbuh dengan baik harus dibuat pagar-pagar batu pada tebing sehingga tanaman bisa tumbuh. Di bukit-bukit inilah banyak dilakukan penambangan batu kapur. Tidak heran jika Gunungkidul merupakan penghasil batu kapur.

Semenjak beberapa minggu yang lalu kebetulan ada tugas yang mengharuskan saya menjelajah Gunungkidul, meskipun belum semua wilayah saya jangkau tetapi ada semacam kesan yang kuat bagi saya tentang wilayah ini. Kesan pertama adalah geografis yang tentu jauh berbeda dengan wilayah kediaman saya atau tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi. Secara umum seperti gambaran di atas. Selain itu struktur tanah yang berbatu atau lebih tepatntya batu yang bertanah ,memang saya rasakan sulit bagi tanaman untuk dapat hidup dengan mudah apalagi untuk mengikat air tanah. Maka hampir tidak mungkin membuat sumur di sebagian besar wilayah Gunungkidul. Makan untuk daerah-daerah yang tidak memungkinkan dibuat sumur, Pemerintah Daerah Gungkidul dan Instansi lain melakukan droping ari bersing menggunakan tangki.

Kesan kedua adalah kerja keras dan pantang menyerah dari saudara-saudara yang ada di Gunungkidul. Betapa minim tanah subur yang ada di Gunungkidul , ternyata dengan gigih mereka menata batu-batuan membentuk semacam terasering di bukit agar tanah tidak larut oleh air, kemudian ditanami tanaman palawija. Selain memberikan nilai ekonomis juga menambah keindahan sekitar. Terasering dengan batu-batuan ini justru menjadi pesona tersendiri bagi kawasan Gunungkidul.

Pohon kayu putih merupakan salah satu pohon yang banyak dijumpai disana, di sela bebatuan pohon kayu putih tumbuh dengan subur, yang saya rasa menjadi komoditas potensial gunungkidul, selain Gaplek dan Thiwul makanan yang dibuat dari bahan dasar ketela pohon. Potensi ekonomi lain lain yang menjadi andalan Gungkidul adalah dari sektor wisata. Wisata pantai merupakan wilayah yang cukup menjanjikan antara lain pantai Baron,Kukup,Krakal,Sundak,Ngrenehan, Wedi Ombo, Sadeng dan lain-lain. Keindahan Pantai Gunungkidul yang masih alami sangat menawan bagi wisatawan. Kebanyakan wisata pantai masih memerlukan penambahan fasilitas dan pembenahan agar benar-benar bisa mendatangkan keuntungan ekonomis bagi Pemerintah Gunungkidul maupun masyarakatnya. Potensi lain adalah wisata Geologi berupa Gua Kapur, Sungai Bawah tanah, Sungai Purba dan masih banyak lagi. Wisata ini banyak dilakukan oleh para pecinta alam dengan melakukan Caving di gua-gua alami Gunungkidul. Dibalik pandangan orang mengenai Gunungkidul yang serba kering ternyata menyimpan Pesona Yang luar biasa. Penasaran??? Silahkan Berkunjung Ke Gunungkidul, dan nikmati perjalanan wisata anda.

Brawijaya V Antara Fakta Dan Mitos Di Pesisir Pantai Gunung Kidul

Masyarakat Jawa cukup kental dengan nuansa spiritualitas yang berhubungan dengan leluhur. Tidak salah memang, walaupun di dalam masyarakat Jawa sendiri sudah banyak menganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Melihat kembali beberapa ratus tahun yang lalu, bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas dari kepercayaan kepada leluhur. Dari kepercayaan leluhur ini, masyarakat Jawa khususnya membangun kehidupannya.

Leluhur, bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai yang bercikal bakal. Artinya leluhur dipercayai sebagai wujud dari sebuah komunitas masyarakat yang sedang berkembang sampai terbentuknya sistem di dalamnya. Proses berkembangnya komunitas sampai pada kehidupan masyarakat yang paling mendasar, yaitu kepercayaan. Masyarakat membutuhkan sarana untuk sampai pada yang memberikan hidup dan segala alamnya. Terbangunnnya kepercayaan ini, tidak lepas dari peran leluhur yang dipercayai memberikan kenyamanan dan kehidupan yang lebih baik. Agama apapun yang dianut masyarakat Jawa sekarang ini, tidak akan pernah lepas dari unsur kepercayaan terhadap leluhur.

Kemudian apa hubungannya dengan judul di atas? Di kawasan pesisir pantai selatan kabupaten Gunung Kidul, ada sebuah kepercayaan yang berkembang di masyarakat sekitar. Di salah satu pantai ini, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai lokasi dimana Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit melarikan diri, karena runtuhnya Majapahit. Di tempat ini pula Sang Raja moksa (hilang tanpa meninggalkan badan jasmani). Cerita ini berkembang selama bertahun-tahun tanpa ada bukti nyata kehadiran Sang raja di pantai ini (kalaupun ada mungkin hanya orang tertentu saja yang tahu).

Dari cerita atau mitos ini tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa, sejarah kehadiran sang raja bisa dipercaya atau tidak. Berkembang pula sebuah keyakinan mengenai cikal bakal dari masyarakat Gunung Kidul yang merupakan keturunan Majapahit yang melarikan diri karena kejaran tentara Islam Demak. Memang untuk membuktikan mitos atau cerita yang berkembang di masyarakat ini sangat sulit. Namun masyarakat setempat sangat percaya dengan cerita yang turun temurun mereka dengar dari para leluhur dahulu. Sebuah cerita yang berkembang di masyarakat bisa dipercaya sebagai fakta ataupun hanya mitos, tergantung dari sudut pandang kita menganalisa.

Sebagai contoh , faktanya bahwa cerita ini berkembang dengan sangat kuat dan terpendam cukup lama di tengah masyarakat. Terlepas dari ditambah ataupun dikuranginya cerita mengenai kehadiran sang raja atau masyarakat keturunan Majapahit tersebut. Kedua cerita ini bisa saling dikaitkan dari latar belakang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke 15.

Pertama, bisa saja cerita bahwa masyarakat Gunung Kidul adalah keturunan dari pelarian Majapahit adalah sebuah fakta. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang geografis Gunung Kidul yang merupakan daerah pegunungan (hutan dan goa cukup banyak di tempat ini). Tentunya daerah ini aman bagi pelarian dari Majapahit.

Kedua, cukup banyak masyarakat Gunung Kidul yang beragama Hindhu Jawa. Masyarakat Hindhu ini, beberapa ditemukan di daerah pesisir pantai beserta bangunan pura. Memang sejak awal bahwa masyarakat nusantara ini menganut agama Hindhu, Budha dan animisme maupun dinamisme, namun bukan berarti dengan ditemukannya komunitas masyarakat Hindhu bisa menjadi pembenaran alasan kedua.

Ketiga, komunitas masyarakat Hindhu Jawa di daerah ini cukup kuat dengan masih mempertahankan tradisi agama mereka. Keempat dari sudut pandang politik, pelarian masyarakat Majapahit ke daerah ini beralasan. Karena kalau mereka melarikan diri keutara tentunya sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di daerah utara pula (sekitar pantai utara Jawa) banyak ditemukan komunitas para pedagang beragama Islam. Ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka melarikan diri ke wilayah pesisir utara. Satu-satunya jalan melarikan diri tentunya ke wilayah barat dan timur (dalam hal ini sebagian bangsawan Majapahit melarikan diri ke Bali), sedangkan di barat wilayah Gunung Kidul cocok untuk melarikan diri. Daerah ini pula secara politis tidak dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak, setidaknya pengaruh kekuasaannya tidak sampai ke pesisir pantai selatan.

Apa hubungannya antara keturunan Majapahit dengan Kehadiran Brawijaya V? Sebagai seorang Raja yang diyakini masih keturunan dewa, tentunya kehadirannya sangat dinantikan. Bisa juga Raja masih terikat secara emosional dengan rakyatnya. Dengan begitu di saat rakyatnya melarikan diri ke suatu wilayah, sosok kewibawaan sang Raja terbawa di tempat pelarian. Hal ini dilakukan sebagai wujud legitimasi perlindungan sang Raja terhadap rakyatnya di tempat pelarian. Maka untuk lebih mempererat senasib sepenanggungan, sosok sang Raja ini dimunculkan selama proses pelarian. Agar ada kesan bahwa kesetiaan sang Raja terhadap rakyatnya sampai pada ujung bumi. Dengan minimnya bukti konkret, masyarakat secara luas kiranya bisa memberi persepsi yang berbeda. Dengan adanya bangunan keagamaan dan kepercayaan di pantai ini, bolehlah kita memberi penghargaan yang luar biasa. Sebab ada hal yang bisa dipelajari dari sebuah multikulturalisme. Yaitu keterbukaan akan sebuah perbedaan serta menghormati. Namun apapun itu, kiranya kita harus menghargai cerita yang berkembang sebagai wujud penghormatan akan nilai-nilai religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk.

Gunung Kidul Handayani

Bila kita menyebut Kabupaten Gunung Kidul, yang terbayang di benak awam kita adalah suatu daerah yang identik dengan kekeringan dan ketandusan. Stereotype pikiran semacam itu sudah jamak dan hingga kini masih menghiasi sebagian besar benak orang.


Saya yang dilahirkan disana sebenarnya jengah dengan keidentikan semacam itu. Karena ada pikiran penyamarataan bahwa seluruh kawasan Gunung Kidul pasti mengalami kekeringan bila musim kemarau tiba. Padahal tidak.

Perlu digarisbawai bahwa wilayah atau kawasan yang mengalami kekeringan di Gunung Kidul hanyalah kawasan yang berada di pesisir Laut Utara seperti Paliyan, Rongkop, Balungpanggang dan lain-lain. Di kawasan itu, air hujan tidak dapat mengumpul di dalam tanah karena kondisi tanahnya yang karst yang mana air lolos begitu saja tanpa bisa mengendap.

Lolosnya air di dalam tanah itu berujung pada pembentukan sungai bawah tanah yang banyak terdapat di kawasan pesisir itu. Sungai bawah tanah tersebut langsung bermuara ke laut.

Sedangkan kondisi alam di luar kawasan pesisir itu normal dan jauh dari kesan kekeringan. Bahkan cenderung hijau karena banyak terdapat hutan di sana. Contoh kecilnya adalah di Kecamatan Ponjong yang mempunyai sumber air yang belum pernah kering, meski pada kemarau panjang, sejak dulu hingga sekarang.

Tidak ada yang tahu kapan sumber air itu terbentuk. Bahkan sejak nenekku masih kecil, sumber air yang telah menjelma menjadi sebuah danau itu sudah ada. “Iku ono ket jaman wali,” ujar nenekku seraya menyebut zaman yang lampau dengan sebutan zaman wali karena saking lamanya.
Sumber air yang belum pernah habis itu oleh warga digunakan untuk irigasi. Sehingga tak heran sawah di Kecamatan Ponjong selalu menghijau.

Contoh lain adalah kecamatan Semin yang hijau oleh hutan disekelilingnya. Atau kita juga bisa melihat contoh lainnya lagi saat mengunjungi Gunung Kidul melalui Kota Jogja. Hutan dan sawah menghijau terhampar di sepanjang perjalanan itu.

Jadi, silahkan datang sendiri ke Gunung Kidul yang bermotto Handayani itu dan silahkan buktikan sendiri kehijauan alamnya. Atau kalau anda pergi ke Pantai Baron, Kukup, Krakal dan pantai indah yang lain di Gunung kidul, anda bisa membuktikan keterangan saya dengan bertanya ke penduduk lokal atau melihat sendiri sungai bawah tanahnya.

Jadi, sebagai orang yang berwawasan luas, anda pasti tidak akan menggebyah uyah (memukul rata) Gunung Kidul.